Senin, 05 Desember 2011

Konflik Sosial

A. PENGERTIAN KONFLIK SOSIAL
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesama manusia. Ketika berinteraksi dengan sesama manusia, selalu diwarnai dua hal, yaitu konflik dan kerjasama. Dengan demikian konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik, dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002) diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Menurut Kartono & Gulo (1987), konflik berarti ketidaksepakatan dalam satu pendapat emosi dan tindakan dengan orang lain. Keadaan mental merupakan hasil impuls-impuls, hasrat-hasrat, keinginan-keinginan dan sebagainya yang saling bertentangan, namun bekerja dalam saat yang bersamaan. Konflik biasanya diberi pengertian sebagai satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa berbentuk pertentangan fisik dan non-fisik, yang pada umumnya berkembang dari pertentangan non-fisik menjadi benturan fisik, yang bisa berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent), bisa juga berkadar rendah yang tidak menggunakan kekerasan (non-violent). Gambar 6.1 menjelaskan tentang perilaku manusia yang muncul akibat dari perbedaan pendapat. Demonstrasi yang dilakukan untuk menentang kebijakan negara adalah salah satu bentuk perbedaan pendapat dan kepentingan antara kelompok masyarakat dengan negara atau dengan kelompok lainnya. Fenomena ini termasuk dalam kategori konflik, walaupun tidak mengarah kepada pertentangan fisik. Konflik juga dimaknai sebagai suatu proses yang mulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang diperhatikan oleh pihak pertama. Suatu ketidakcocokan belum bisa dikatakan sebagai suatu konflik bilamana salah satu pihak tidak memahami adanya ketidakcocokan tersebut (Robbins, 1996). Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bisa terjadi karena hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki tujuan-tujuan yang tidak sejalan (Fisher, dalam Saputro, 2003). Sedangkan White & Bednar (1991) mendefinisikan konflik sebagai suatu interaksi antara orang-orang atau kelompok yang saling bergantung merasakan adanya tujuan yang saling bertentangan dan saling mengganggu satu sama lain dalam mencapai tujuan itu. Jika tindakan seseorang individu untuk memenuhi dan memaksimal kan kebutuhannya menghalangi atau membuat tindakan orang lain jadi tidak efektif untuk memenuhi dan memaksimalkan kebutuhan orang tersebut, maka terjadilah konflik kepentingan (conflict of interest) (Deustch dalam Johnson & Johnson, 1991). Cassel Concise dalam Lacey (2003) mengemukakan bahwa konflik sebagai “a fight, a collision; a struggle, a contest; opposition of interest, opinion or purposes; mental strife, agony”. Pengertian tersebut memberikan penjelasan bahwa konflik adalah suatu pertarungan, suatu benturan; suatu pergulatan; pertentangan kepentingan, opini-opini atau tujuan-tujuan; pergulatan mental, penderitaan batin. Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seorang terhadap dirinya, orang lain, orang dengan kenyataan apa yang diharapkan (Mangkunegara, 2001). Konflik juga merupakan perselisihan atau perjuangan di antara dua pihak (two parties)yang ditandai dengan menunjukkan permusuhan secara terbuka dan atau mengganggu dengan sengaja pencapaian tujuan pihak yang menjadi lawannya (Wexley &Yukl, 1988). Gambar 6.2 di bawah ini adalah salah satu contoh konflik yang sesuai dengan pendapat di atas, yaitu ketika apa yang diharapkan oleh suporter persebaya agar kesebelasan kesayangannya menang tidak terwujud, akibatnya dia melakukan berbagai tindakan penyerangan kepada siapa saja, termasuk kepada aparat keamanan.


Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala pertentangan itu bersifat langsung, yakni ditandai interaksi timbal balik di antara pihakpihak yang bertentangan. Selain itu, pertentangan itu juga dilakukan atas dasar kesadaran pada masing-masing pihak bahwa mereka saling berbeda atau berlawanan (Syaifuddin, dalam Soetopo dan Supriyanto, 2003). Dalam hubungannya dengan pertentangan sebagai konflik, Marck, Synder dan Gurr membuat kriteria yang menandai suatu pertentangan sebagai konflik. Pertama, sebuah konflik harus melibatkan dua atau lebih pihak di dalamnya; Kedua, pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi (mutualy opposing actions); Ketiga, mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan “sang musuh”. Keempat, interaksi pertentangan di antara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dan dimufakati dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan (Gurr, dalam Soetopo, 2001). Konflik dalam pengertian yang luas dapat dikatakan sebagai segala bentuk hubungan antar manusia yang bersifat berlawanan (antagonistik) (Indrawijaya, 1986). Konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda. Konflik juga merupakan suatu interaksi yang antagonis mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas mulai dari bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka (Clinton dalam Soetopo dan Supriyanto, 2003). Konflik dapat dikatakan sebagai suatu oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi yang disebabkan oleh adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen, serta menimbulkan perbedaan pendapat, keyakinan dan ide (Mulyasa, 2003). Hocker & Wilmot (1991) memberikan definisi yang cukup luas terhadap konflik sebagai “an expressed struggle betwen at least two interdependent parties who perceive incompatibel goal, scarce rewards, and interference from the other parties in achieving their goals”. Seseorang dikatakan terlibat konflik dengan pihak lain jika sejumlah ketidaksepakatan muncul antara keduanya, dan masing-masing menyadari adanya ketidaksepakatan itu. Jika hanya satu pihak yang merasakan ketidaksetujuan, sedang yang lain tidak, maka belum bisa dikatakan konflik antara dua pihak. Dengan kata lain, dua pihak harus menyadari adanya masalah sebelum mereka berada di dalam konflik. Semua konflik seringkali dipandang sebagai pencapaian tujuan satu pihak dan merupakan kegagalan pencapaian tujuan pihak lain. Hal ini karena seringkali orang memandang tujuannya sendiri secara lebih penting, sehingga meskipun konflik yang ada sebenarnya merupakan konflik yang kecil, seolah-olah tampak sebagai konflik yang besar. Konflik muncul diakibatkan salah satunya perebutan sumberdaya. Misalnya, jika dua orang duduk sebangku dalam kelas, maka bangku itu menjadi sumberdaya. Apabila salah satu pihak bertingkah laku seakanakan mau menguasai kamar, pihak lain akan terganggu maka terjadilah konflik diakibatkan sumberdaya. Pihak-pihak yang berkonflik saling tergantung satu sama lain, karena kepuasan seseorang tergantung perilaku pihak lain. Jika kedua pihak merasa tidak perlu untuk menyelesaikan masalah, maka perpecahan tidak dapat dihindari. Banyak konflik yang tidak terselesaikan karena masing-masing pihak tidak memahami sifat saling ketergantungan. Selama ini konflik sering dihubungkan dengan agresi. Broadman & Horowitz (dalam Kusnarwatiningsih, 2007) menyatakan bahwa konflik dan agresi merupakan dua hal yang berbeda. Konflik tidak selalu menghasilkan kerugian, tetapi juga membawa dampak yang konstruktif bagi pihak-pihak yang terlibat, sedangkan agresi hanya membawa dampak-dampak yang merugikan bagi individu. Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu pertentangan dalam bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung satu sama lain yang sama-sama merasakan tujuan yang saling tidak cocok, kelangkaan sumber daya dan hambatan yang didapat dari pihak lain dalam mencapai tujuannya. Tawuran antar pelajar (Gambar 6.3) adalah salah satu contoh konflik yang sering terjadi di kalangan pelajar.


Konflik pada dasarnya merupakan bagian dari kehidupan sosial, karena itu tidak ada masyarakat yang steril dari realitas konflik. Coser (1956) menyatakan: konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda merupakan bagian dari setiap sistem sosial yang dapat dimengerti (Poloma, 1994). Karena konflik merupakan bagian kehidupan sosial, maka dapat dikatakan konflik sosial merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar. Dahrendorf (1986), membuat 4 postulat yang menunjukkan keniscayaan itu, yaitu: (1) setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial terdapat di manamana; (2) setiap masyarakat memperlihatkan konflik dan pertentangan, konflik terdapat di mana-mana; (3) setiap unsur dalam masyarakat memeberikan kontribusi terhadap desintegrasi dan perubahan; (4) setiap masyarakat dicirikan oleh adanya penguasaan sejumlah kecil orang terhadap sejumlah besar lainnya. Coser (1956) mengutip hasil pengamatan Simmel, menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan keutuhan dan keseimbangan. Coser menyatakan bahwa masyarakat yang terbuka dan berstruktur longgar membangun benteng untuk membendung tipe konflik yang akan membahayakan konsensus dasar kelompok itu dari serangan terhadap nilai intinya dengan membiarkan konflik itu berkembang di sekitar masalah-masalah yang tidak mendasar (Poloma, 1994). Dengan demikian berarti, konflik yang menyentuh nilai-nilai inti akan dapat mengubah struktur sosial sedangkan konflik yang mempertentangkan nilai-nilai yang berada di daerah pinggiran tidak akan sampai menimbulkan perpecahan yang dapat membahayakan struktur sosial. Cobb dan Elder (1972) mengungkapkan adanya tiga dimensi penting dalam konflik politik: (1) luas konflik; (2) intensitas konflik; dan (3) ketampakan konflik. Luas konflik, menunjuk pada jumlah perorangan atau kelompok yang terlibat dalam konflik, dan menunjuk pula pada skala konflik yang terjadi (misalnya: konflik lokal, konflik etnis, konflik nasional, konflik internasional, konflik agama dan sebagainya). Intensitas konflik adalah luas-sempitnya komitmen sosial yang bisa terbangun akibat sebuah konflik. Konflik yang intensitasnya tinggi adalah konflik yang bisa membangun komitmen sosial yang luas, sehingga luas konflikpun mengembang. Adapun ketampakan konflik adalah tingkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat di luar pihak-pihak yang berkonflik tentang peristiwa konflik yang terjadi. Sebuah konflik dikatakan memiliki ketampakan yang tinggi manakala peristiwa konflik itu disadari dan diketahui detail keberadaannya oleh masyarakat secara luas. Sebaliknya, sebuah konflik memiliki ketampakan rendah manakala konflik itu terselimuti oleh berbagai hal sehingga tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat luas terhadap konflik itu sangat terbatas. Pandangan tradisional tentang konflik mengandaikan konflik itu buruk, dipandang secara negatif, dan disinonimkan dengan istilah kekerasan (violence), destruksi, dan ketidakrasionalan demi memperkuat konotasi negatifnya. Konflik adalah merugikan, oleh karena itu harus dihindari (Robbins, 1996). Pandangan pada masa kini melihat konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam kehidupan kelompok dan organisasi. Dalam interaksi antara manusia, konflik tidak dapat disingkirkan, tidak terelakkan, bahkan ada kalanya konflik dapat bermanfaat pada kinerja kelompok. Berdasarkan pendekatan interaksionis memandang konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, kaum interaksionis mendorong pemimpin suatu kelompok apapun untuk mempertahankan suatu tingkat minimum berkelanjutan dari konflik, sehingga cukup untuk membuat kelompok itu hidup, kritis-diri dan kreatif. Perlu ditegaskan, bahwa pendekatan interaksionis tersebut tidak berarti memandangan semua konflik adalah suatu hal yang baik, tetap memandang konflik adalah suatu hal yang tidak baik. Kaum interaksional memandang ada konflik yang mendukung tujuan kelompok dan memperbaiki kinerja kelompok, biasa disebut dengan konflik fungsional, sedangkan ada konflik yang menghalangi kinerja kelompok atau yang disebut dengan konflik disfungsional atau destruktif.

B. SUMBER KONFLIK SOSIAL
Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab. Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit itu untuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Hal ini dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber konflik, demikian halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa menjadi sumber konflik antara manusia. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Kesimpulannya sumber konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Oleh karena kita tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang menjadi sumber konflik adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan pada hal-hal yang sifatnya rasional. Pada umumnya penyebab munculnya konflik kepentingan sebagai berikut: (1) perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan, (2) langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh, ruang, waktu, uang, popularitas dan posisi, dan (3) persaingan. Ketika kebutuhan, nilai dan tujuan saling bertentangan, ketika sejumlah sumber daya menjadi terbatas, dan ketika persaingan untuk suatu penghargaan serta hak-hak istimewa muncul, konflik kepentingan akan muncul (Johnson & Johnson, 1991). Menurut Anoraga (dalam Saputro, 2003) suatu konflik dapat terjadi karena perbendaan pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan, dan perasaan sensitif.
1. Perbedaan pendapat
Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau
mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.

2. Salah paham
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain.
3. Ada pihak yang dirugikan
Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
4. Perasaan sensitif
Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain dianggap merugikan.
Baron & Byrne (dalam Kusnarwatiningsih, 2007) mengemukakan konflik disebabkan antara lain oleh perebutan sumber daya, pembalasan dendam, atribusi dan kesalahan dalam berkomunikasi. Sedangkan Soetopo (2001) juga mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya konflik, antara lain: (1) ciri umum dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; (2) hubungan pihak-pihak yang mengalami konflik sebelum terjadi konflik; (3) sifat masalah yang menimbulkan konflik; (4) lingkungan sosial tempat konflik terjadi; (5) kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; (6) strategi yang biasa digunakan pihak-pihak yang mengalami konflik; (7) konsekuensi konflik terhadap pihak yang mengalami konflik dan terhadap pihak lain; dan (8) tingkat kematangan pihak-pihak yang berkonflik. Ada enam kategori penting dari kondisi-kondisi pemula (antecedent conditions) yang menjadi penyebab konflik, yaitu: (1) persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources), (2) ketergantungan pekerjaan (task interdependence), (3) kekaburan bidang tugas (jurisdictional ambiguity), (4) problem status (status problem), (5) rintangan komunikasi (communication barriers), dan (6) sifat-sifat individu (individual traits) (Robbins, Walton & Dutton dalam Wexley & Yukl, 1988).
Schmuck (dalam Soetopo dan Supriyanto, 1999) mengemukakan bahwa kategori sumber-sumber konflik ada empat, yaitu (1) adanya perbedaan fungsi dalam organisasi, (2) adanya pertentangan kekuatan antar orang dan subsistem, (3) adanya perbedaan peranan, dan (4) adanya tekanan yang dipaksakan dari luar kepada organisasi.

Sedangkan Handoko (1998) menyatakan bahwa sumber-sumber konflik adalah sebagai berikut.
1. Komunikasi: salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti, atau informasi yang mendua dan
tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten.
2. Struktur: pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka.
3. Pribadi: ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka,
dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi.
Berbeda pula dengan pendapat Mangkunegara (2001) bahwa penyebab konflik dalam organisasi adalah: (1) koordinasi kerja yang tidak dilakukan, (2) ketergantungan dalam pelaksanaan tugas, (3) tugas yang tidak jelas (tidak ada diskripsi jabatan), (4) perbedaan dalam orientasi kerja, (5) perbedaan dalam memahami tujuan organisasi, (6) perbedaan persepsi, (7) sistem kompetensi intensif (reward), dan (8) strategi permotivasian yang tidak tepat. Berdasarkan beberapa pendapat tentang sumber konflik sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditegaskan bahwa sumber konflik dapat berasal dari dalam dan luar diri individu. Dari dalam diri individu misalnya adanya perbedaan tujuan, nilai, kebutuhan serta perasaan yang terlalu sensitif. Dari luar diri individu misalnya adanya tekanan dari lingkungan, persaingan, serta langkanya sumber daya yang ada.
1. Faktor Penyebab Konflik
a. Perbedaan individu
Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbedabeda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
b. Perbedaan latar belakang kebudayaan
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan
yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda- beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan.
Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

d. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.

Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotong royongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan prosesproses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.


C. BENTUK KONFLIK SOSIAL
Sasse (1981) mengajukan istilah yang bersinonim maknanya dengan nama conflict style, yaitu cara orang bersikap ketika menghadapi pertentangan. Conflict style ini memiliki kaitan dengan kepribadian. Maka orang yang berbeda akan menggunakan conflict style yang berbeda pada saat mengalami konflik dengan orang lain. Sedangkan Rubin (dalam Farida, 1996) menyatakan bahwa konflik timbul dalam berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri seseorang individu, antar individu, kelompok, organisasi maupun antar negara. Ada banyak kemungkinan menghadapi konflik yang dikenal dengan istilah manajemen konflik. Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:
1. Konflik tujuan
Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
2. Konflik peranan
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang
sama.
3. Konflik nilai
Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik
dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
4. Konflik kebijakan
Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya.


Gambar 6.4 adalah contoh yang menunjukkan ragam dan bentuk konflik yang terjadi di masyarakat. Dipandang dari akibat maupun cara penyelesaiannya, Furman & McQuaid (dalam Farida, 1996) membedakan konflik dalam dua tipe yang berbeda, yaitu konflik destruktif dan konstruktif.

Konflik dipandang destruktif dan disfungsional bagi individu yang terlibat apabila:
1. Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian besar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problem tidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalam frekuensi yang wajar dan masih memungkinkan individu-individunya berinteraksi secara harmonis.
2. Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan dan terjadi pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif isu akan tetap terfokus dan dirundingkan melalui proses pemecahan masalah yang saling menguntungkan.
3. Konflik berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat akan tetap terjaga. Sedangkan Handoko (1984) membagi konflik menjadi 5 jenis yaitu: (1) konflik dari dalam individu, (2) konflik antar individu dalam organisasi yang sama, (3) konflik antar individu dalam kelompok, (4) konflik antara kelompok dalam organisasi, (5) konflik antar organisasi.
Berbeda dengan pendapat diatas Mulyasa (2003) membagi konflik berdasarkan tingkatannya menjadi enam yaitu: (1) konflik intrapersonal, (2) konflik interpersonal, (3) konflik intragroup, (4) konflik intergroup, (5) konflik intraorganisasi, dan (6) konflik interorganisasi. Menurut Dahrendorf (1986), konflik dibedakan menjadi 4 macam: (1) konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role); (2) konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank); (3) konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa); dan (4) konflik antar satuan nasional (perang saudara). Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut: (1) meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in-group) yang mengalami konflik dengan kelompok lain; (2) keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai; (3) perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbul nya rasa dendam, benci, saling curiga dan sebagainya; (4) kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia; dan (5) dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori konflik mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut.
1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.

D. PROSES KONFLIK
Menurut Robbins (1996) proses konflik terdiri dari lima tahap, yaitu: (1) oposisi atau ketidakcocokan potensial; (2) kognisi dan personalisasi; (3) maksud; (4) perilaku; dan (5) hasil. Oposisi atau ketidakcocokan potensial adalah adanya kondisi yang mencipta-kan kesempatan untuk munculnya koinflik. Kondisi ini tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul. Kondisi tersebut dikelompokkan dalam kategori: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi. Komunikasi yang buruk merupakan alasan utama dari konflik, selain itu masalah-masalah dalam proses komunikasi berperan dalam menghalangi kolaborasi dan merangsang kesalahpahaman. Struktur juga bisa menjadi titik awal dari konflik. Struktur dalam hal ini meliputi: ukuran, derajat spesialisasi dalam tugas yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi, kecocokan anggotatujuan, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok-kelompok. Variabel pribadi juga bisa menjadi titik awal dari konflik. Pernahkah kita mengalami situasi ketika bertemu dengan orang langsung tidak menyukainya? Apakah itu kumisnya, suaranya, pakaiannya dan sebagainya. Karakter pribadi yang mencakup sistem nilai individual tiap orang dan karakteristik kepribadian, serta perbedaan individual bisa menjadi titik awal dari konflik. Kognisi dan personalisasi adalah persepsi dari salah satu pihak atau masing-masing pihak terhadap konflik yang sedang dihadapi. Kesadaran oleh satu pihak atau lebih akan eksistensi kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan untuk timbulnya konflik. Bilamana hal ini terjadi dan berlanjut pada tingkan terasakan, yaitu pelibatan emosional dalam suatu konflik yang akan menciptakan kecemasan, ketegangan, frustasi dan pemusuhan. Maksud adalah keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu dari pihak-pihak yang berkonflik. Maksud dari pihak yang berkonflik ini akan tercermin atau terwujud dalam perilaku, walaupun tidak selalu konsisten. Maksud dalam penanganan suatu konflik ada lima, yaitu: (1) bersaing, tegas dan tidak kooperatif, yaitu suatu hasrat untuk memuaskan kepentingan seseorang atau diri sendiri, tidak peduli dampaknya terhadap pihak lain dalam suatu episode konflik; (2) berkolaborasi, bila pihak-pihak yang berkonflik masing-masing berhasrat untuk memenuhi sepenuhnya kepentingan dari semua pihak, kooperatif dan pencaharian hasil yang bermanfaat bagi semua pihak; (3) mengindar, bilamana salah satu dari pihak-pihak yang berkonflik mempunyai hasrat untuk menarik diri, mengabaikan dari atau menekan suatu konflik; (4) mengakomodasi, bila satu pihak berusaha untuk memuaskan seorang lawan, atau kesediaan dari salah satu pihak dalam suatu konflik untuk menaruh kepentingan lawannya diatas kepentingannya; dan (5) berkomromi, adalah suatu situasi di mana masing-masing pihak dalam suatu konflik bersedia untuk melepaskan atau mengurangi tuntutannya masing-masing. Perilaku mencakup pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat an untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salahpaham kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.oleh pihak-pihak yang berkonflik. Perilaku meliputi: upaya terang-terang an untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salahpaham kecil. Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.
E. POLA PENYELESAIAN KONFLIK
Konflik dapat berpengaruh positif atau negatif, dan selalu ada dalam kehidupan. Oleh karena itu konflik hendaknya tidak serta merta harus ditiadakan. Persoalannya, bagaimana konflik itu bisa dimanajemen sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan disintegrasi sosial. Pengelolaan konflik berarti mengusahakan agar konflik berada pada level yang optimal. Jika konflik menjadi terlalu besar dan mengarah pada akibat yang buruk, maka konflik harus diselesaikan. Di sisi lain, jika konflik berada pada level yang terlalu rendah, maka konflik harus dibangkitkan (Riggio, 1990). Berbeda lagi dengan yang dinyatakan oleh Soetopo (1999) bahwa strategi pengelolaan konflik menunjuk pada suatu aktivitas yang dimaksudkan untuk mengelola konflik mulai dari perencanaan, evaluasi, dan pemecahan/penyelesaian suatu konflik sehingga menjadi sesuatu yang positif bagi perubahan dan pencapaian tujuan. Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengelolaan konflik, dapat ditegaskan bahwa pengelolaan konflik merupakan cara yang digunakan individu dalam mengontrol, mengarahkan, dan menyelesaikan
konflik, dalam hal ini adalah konflik interpersonal.
Hodge dan Anthony (1991), memberikan gambaran melalui berbagai metode resolusi (penyelesaian) konflik, sebagai berikut: Pertama, dengan metode penggunaan paksaan. Orang sering menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat diredam atau dipadamkan. Kedua, dengan metode penghalusan (smoothing). Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik dengan bahasa kasihsayang, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang mengarah pada perdamaian. Ketiga, penyelesaian dengan cara demokratis. Artinya, memberikan peluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Cribbin (1985) mengelaborasi terhadap tiga hal, yaitu mulai yang cara yang paling tidak efektif, yang efektif dan yang paling efektif. Menurutnya, strategi yang dipandang paling tidak efektif, misalnya ditempuh cara: (1) dengan paksaan. Strategi ini umumnya tidak disukai oleh kebanyakan orang. Dengan paksaan, mungkin konflik bisa diselesaikan dengan cepat, namun bisa menimbulkan reaksi kemarahan atau reaksi negatif lainnya; (2) dengan penundaan. Cara ini bisa berakibat penyelesaian konflik sampai berlarut-larut; (3) dengan bujukan. Bisa berakibat psikologis, orang akan kebal dengan bujukan sehingga perselisihan akan semakin tajam; (4) dengan koalisi, yaitu suatu bentuk persekutuan untuk mengendalikan konflik. Akan tetapi strategi ini bisa memaksa orang untuk memihak, yang pada gilirannya bisa menambah kadar konflik konflik sebuah ‘perang’; (5) dengan tawar-menawar distribusi. Strategi ini sering tidak menyelesaikan masalah karena masing-masing pihak saling melepaskan beberapa hal penting yang mejadi haknya, dan jika terjadi konflik mereka merasa menjadi korban konflik.
Strategi yang dipandang lebih efektif dalam pengelolaan konflik meliputi: (1) koesistensi damai, yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak saling mengganggu dan saling merugikan, dengan menetapkan peraturan yang mengacu pada perdamaian serta diterapkan secara ketat dan konsekuen; (2) dengan mediasi (perantaraan). Jika penyelesaian konflik menemui jalan buntu, masing-masing pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan secara jujur dan adil serta tidak memihak. Sedangkan strategi yang dipandang paling efektif, antara lain: (1) tujuan sekutu besar, yaitu dengan melibatkan pihak-pihak yang berkonflik ke arah tujuan yang lebih besar dan kompleks. Misalnya denga cara membangun sebuah kesadaran nasional yang lebih mantap; (2) tawar-menawar integratif, yaitu dengan menggiring pihak-pihak yang berkonflik, untuk lebih berkonsentrasi pada kepentingan yang luas, dan tidak hanya berkisar pada kepentingan sempit, misalnya kepentingan individu, kelompok, golongan atau suku bangsa tertentu.

Nasikun (1993), mengidentifikasi pengendalian konflik melalui tiga cara, yaitu dengan konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), dan
perwasitan (arbitration). Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi, terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berkonflik. Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi secara efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal: (1) harus mampu mengambil keputusan secara otonom, tanpa campur tangan dari badan-badan lain; (2) lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian; (3) lembaga harus mampu mengikat kepentingan bagi pihak-pihak yang berkonflik; dan (4) lembaga tersebut harus bersifat demokratis. Tanpa keempat hal tersebut, konflik yang terjadi di antara beberapa kekuatan sosial, akan muncul ke bawah permukaan, yang pada saatnya akan meledak kembali dalam bentuk kekerasan. Pengendalian dengan cara mediasi, dengan maksud bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami. Pengendalian konflik dengan cara perwasitan, dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan keputusan-keputusan, dalam rangka menyelesaikan yang ada. Berbeda dengan mediasi, cara perwasitan mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan yang diambil oleh pihak wasit.
Pola penyelesaian konflik juga bisa dilakukan dengan menggunakan strategi seperti berikut: (1) gunakan persaingan dalam penyelesaian konflik, bila tindakan cepat dan tegas itu vital, mengenai isu penting, dimana tindakan tidak populer perlu dilaksanakan; (2) gunakan kolaborasi untuk menemukan pemecahan masalah integratif bila kedua perangkat kepentingan terlalu penting untuk dikompromikan; (3) gunakan penghindaran bila ada isyu sepele, atau ada isu lebih penting yang mendesak; bila kita melihat tidak adanya peluang bagi terpuaskannya kepentingan anda; (4) gunakan akomodasi bila diketahui kita keliru dan untuk memungkinkan pendirian yang lebih baik didengar, untuk belajar, dan untuk menunjukkan kewajaran; dan (5) gunakan kompromis bila tujuan penting, tetapi tidak layak mendapatkan upaya pendekatan-pendekatan yang lebih tegas disertai kemungkinan gangguan.
1. Macam-macam Pola Pengelolaan Konflik
Menurut penelitian Vliert dan Euwema (dalam Farida, 1996) penelitian-penelitian mengenai cara-cara penyelesaian konflik menggunakan klasifikasi yang berbeda. Belum ada kesepakatan dari para ahli mengenai klasifikasi yang dianggap paling valid. Individu berhubungan dengan yang lain dalam tiga cara; moving toward others (mendapatkan dukungan), moving againts other (menyerang dan mendominasi), dan
moving away from other (menarik diri dari orang lain dan masalah yang menimbulkan konflik) (Horney dalam Hall, 1985). Berpijak dari perbedaan budaya, nilai maupun adat kebiasaan, Ury, Brett, dan Goldberg (dalam Tinsley, 1998) mengajukan tiga model pengelolaan konflik, sebagai berikut.
1. Deffering to status power
Individu dengan status yang lebih tinggi memiliki kekuasaan untuk membuat dan memaksakan solusi konflik yang ditawarkan. Status sosial memegang peranan dalam menentukan aktivitas-aktivitasyang akan dilakukan.
2. Applying regulations
Model ini ditekankan oleh asumsi bahwa interaksi sosial diatur oleh hukum universal. Peraturan diterapkan secara merata pada seluruh anggota. Peraturan dibakukan untuk menggambarkan hukuman dan penghargaan yang diberikan berdasarkan perilaku yang dilakukan, bukan berdasarkan orang yang terlibat.
3. Integrating interest
Model ini menekankan pada perhatian pihak yang terlibat, untuk membuat hasilnya lebih bermanfaat bagi mereka daripada tidak mendapatkan kesepakatan satupun. Disini masing-masing pihak saling berbagi minat, prioritas, untuk menemukan penyelesaian yang dapat mempertemukan minat mereka masing-masing. Pola penyelesaian konflik bila dipandang dari sudut menang-kalah pada masing-masing pihak, maka ada empat bentuk pengelolaan konflik, yaitu:
1. Bentuk kalah-kalah (menghindari konflik)
Bentuk pertama ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut.
2. Bentuk menang-kalah (persaingan)
Bentuk kedua ini memastikan bahwa satu pihak memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya kekuasaan atau pengaruh digunakan untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut individu tersebut yang keluar sebagai pemenangnya. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah.
3. Bentuk kalah-menang (mengakomodasi)
Agak berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga yaitu individu kalah-pihak lain menang ini berarti individu berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini digunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang diinginkan.
4. Bentuk menang-menang (kolaborasi)
Bentuk keempat ini disebut dengan gaya pengelolaan konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut (Prijosaksono dan Sembel, 2002). Berbeda dengan pendapat diatas, Hendricks (2001) mengemukaan lima gaya pengelolaan konflik yang diorientasikan dalam organisasi maupun perusahaan. Lima gaya yang dimaksud adalah:
1. Integrating (menyatukan, menggabungkan)
Individu yang memilih gaya ini melakukan tukar-menukar informasi. Disini ada keinginan untuk mengamati perbedaan dan mencari solusi yang dapat diterima semua kelompok. Cara ini mendorong berpikir kreatif serta mengembangkan alternatif pemecahan masalah.
2. Obliging (saling membantu)
Disebut juga dengan kerelaan membantu. Cara ini menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Kekuasaan diberikan pada orang lain. Perhatian tinggi pada orang lain menyebabkan seorang individu merasa puas dan merasa keinginannya terpenuhi oleh pihak lain, kadang mengorbankan sesuatu yang penting untuk dirinya sendiri.
3. Dominating (menguasai)
Tekanan gaya ini adalah pada diri sendiri. Kewajiban bisa saja diabaikan demi kepentingan pribadi. Gaya ini meremehkan kepentingan orang lain. Biasanya berorientasi pada kekuasaan dan penyelesaiannya cenderung dengan menggunakan kekuasaan.
4. Avoiding (menghindar)
Individu yang menggunakan gaya ini tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang lain. Ini adalah gaya menghindar dari persoalan, termasuk di dalamnya menghindar dari tanggung jawab atau mengelak dari suatu isu.
5. Compromising (kompromi)
Perhatian pada diri sendiri maupun orang lain berada dalam tingkat sedang.
Berbeda dengan yang dikemukakan Johnson & Johnson (1991) bahwa strategi pengelolaan konflik ada karena dipelajari, biasanya sejak masa kanak-kanak sehingga berfungsi secara otomatis dalam level bawah sadar (preconscious). Tapi karena dipelajari, maka seseorangpun dapat mengubah strateginya dengan mempelajari cara baru dan lebih efektif dalam menangani konflik. Lebih lanjut Johnson & Johnson (1991) mengajukan beberapa gaya atau strategi dasar pengelolaan konflik, yaitu:
1. Withdrawing (Menarik Diri). Individu yang menggunakan strategi ini percaya bahwa lebih mudah menarik diri (secara fisik dan psikologis) dari konflik daripada menghadapinya. Mereka cenderung menarik diri untuk menghindari konflik. Baik tujuan pribadi maupun hubungan dengan orang lain dikorbankan. Mereka menjauh dari isu yang dapat menimbulkan konflik serta dari orangorang yang terlibat konflik dengannya.
2. Forcing (Memaksa). Individu berusaha memaksa lawannya menerima solusi konflik yang ditawarkannya. Tujuan pribadinya dianggap sangat penting. Mereka menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya. Mereka tidak peduli akan kebutuhan dan minat orang lain, serta apakah orang lain itu menerima solusi mereka atau tidak. Mereka menganggap konflik dapat diselesaikan dengan satu pihak yang menang dan pihak yang lain kalah. Mereka mencapai kemenangan dengan jalan menyerang, menghancurkan, dan mengintimidasi orang lain.
3. Smoothing (Melunak). Individu yang menggunakan strategi ini berpendapat bahwa mempertahankan hubungan dengan orang lain jauh lebih penting dibandingkan dengan pencapaian tujuan pribadi. Mereka ingin diterima dan dicintai. Mereka merasa bahwa konflik harus dihindari demi keharmonisan dan bahwa orang tidak akan dapat membicarakan konflik tanpa mengakibatkan rusaknya hubungan. Mereka takut jika konflik berlanjut, maka orang lain akan kecewa dan ini menyebabkan rusaknya hubungan. Mereka mengorbankan tujuan pribadinya demi mempertahankan kelangsungan hubungan.
4. Compromising (Kompromi). Strategi ini digunakan individu yang menaruh perhatian baik terhadap pribadinya sendiri maupun hubungan dengan orang lain. Mereka berusaha berkompromi, mengorbankan tujuannya sendiri dan mempengaruhi pihak lain untuk mengorbankan sebagian tujuannya juga. Mereka mencari solusi konflik agar kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan, solusi pertengahan antara dua posisi yang ekstrim.
5. Confronting (Konfrontasi). Individu dengan tipe ini menaruh perhatian sangat tinggi terhadap tujuan pribadi maupun kelangsungan hubungan dengan orang lain. Mereka memandang konflik sebagai masalah yang harus dipecahkan dan solusi terhadap konflik haruslah mencapai tujuan pribadinya sendiri maupun tujuan orang lain. Konflik dipandang dapat meningkatkan hubungan dengan menurunkan ketegangan antara dua pihak yang terlibat. Dengan solusi yang memuaskan kedua belah pihak, mereka mencoba mempertahankan kelangsungan hubungan dapat memuaskan baik mereka sendiri maupun orang lain. Klasifikasi-klasifikasi yang diajukan beberapa ahli di atas, jika diperhatikan tidak benar-benar berbeda. Perbedaan yang ada hanya pada istilah yang dipakai namun memiliki pengertian yang hampir sama.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Penyelesaian Konflik Johnson & Johnson (1991) menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan bilamana seseorang terlibat dalam suatu konflik, dan akibatnya menentukan bagaimana seseorang menyelesaikan konflik, sebagai berikut: (1) tercapainya persetujuan yang dapat memuaskan kebutuhan serta tujuannya. Tiap orang memiliki tujuan pribadi yang ingin dicapai. Konflik bisa terjadi karena tujuan dan kepentingan individu menghalangi tujuan dan kepentingan individu lain; (2) seberapa penting hubungan atau interaksi itu untuk dipertahankan. Dalam situasi sosial, yang di dalamnya terdapat keterikatan interaksi, individu harus hidup bersama dengan orang lain dalam periode tertentu. Oleh karena itu diperlukan interaksi yang efektif selama beberapa waktu. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pengelolaan konflik, seperti dirangkum sebagai berikut.
1. Kepribadian Individu Yang Terlibat Konflik
Stenberg dan Soriano (dalam Farida, 1996) berpendapat bahwa gaya pengelolaan konflik seorang individu dapat diprediksi dari karakteristik-karakteristik intelektual dan kepribadiannya. Mereka menemukan bahwa subyek dengan skor intelektual yang rendah cenderung menggunakan aksi fisik dalam mengatasi konflik. Sebaliknya subyek dengan skor intelektual yang tinggi lebih cenderung untuk menggunakan gaya-gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik melunak.
Dari karakteristik kepribadian dapat diprediksi bahwa subyek dengan skor tinggi pada need for deference (kebutuhan untuk mengikuti dan mendukung seseorang), need for abasement (kebutuhan untuk menyerah atau tunduk) dan need for order (kebutuhan untuk membuat teratur) cenderung untuk memilih gayagaya pengelolaan konflik yang membuat konflik melunak. Sebaliknya subyek dengan skor tinggi pada need for autonomy (kebutuhan untuk bebas dan lepas dari tekanan) dan need for change (kebutuhan untuk membuat perubahan) memiliki kecenderungan untuk memilih paling tidak satu gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik semakin intensif.
Menurut Broadman dan Horowitz (dalam Farida, 1996) karakteristik kepribadian yang terutama berpengaruh terhadap gaya pengelolaan konflik adalah kecenderungan agresifitas, kecenderungan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi kooperatif dan kompetitif, kemampuan untuk berempati, dan kemampuan untuk menemukan pola penyelesaian konflik.
2. Situasional
Aspek situasi yang penting antara lain adalah perbedaan struktur kekuasaan, riwayat hubungan, lingkungan sosial dan pihak ketiga. Apabila satu pihak memiliki kekuasaan lebih besar terhadap situasi konflik, maka besar kemungkinan konflik akan diselesaikan dengan cara dominasi oleh pihak yang lebih kuat posisinya. Riwayat hubungan menunjuk pada pengalaman sebelumnya dengan pihak lain, sikap dan keyakinan terhadap pihak lain tersebut. Termasuk dalam aspek lingkungan sosial adalah norma-norma sosial dalam menghadapi konflik dan iklim sosial yang mendukung melunaknya konflik atau justru mempertajam konflik. Sedangkan campur tangan pihak ketiga yang memiliki hubungan buruk dengan salah satu pihak yang berselisih dapat menyebabkan membesarnya konflik. Sebaliknya, hubungan baik pihak ketiga dengan pihak-pihak yang berselisih dapat melunakkan konflik karena pihak ketiga dapat berperan sebagai mediator.
3. Interaksi
Digunakannya pendekatan disposisional saja dalam mencari pemahaman akan perilaku sosial dianggap mempunyai manfaat yang terbatas. Pendekatan yang lebih dominan dalam menerangkan perilaku sosial adalah interaksi dan saling mempengaruhinya determinan situasional dan disposisional.
4. Isu Konflik
Tipe isu tertentu kurang mendukung resolusi konflik yang konstruktif dibandingkan dengan isu yang lain. Tipe isu seperti ini mengarahkan partisipan konflik untuk memandang konflik sebagai permainan kalah-menang. Isu yang berhubungan dengan kekuasaan, status, kemenangan, dan kekalahan, pemilikan akan sesuatu yang tidak tersedia substitusinya, adalah termasuk tipetipe isu yang cenderung diselesaikan dengan hasil menang-kalah. Tipe yang lain yang tidak berhubungan dengan hal-hal di atas dapat dipandang sebagai suatu permainan yang memungkinkan setiap pihak yang terlibat untuk menang. Pada umumnya, konflik kecil lebih mudah diselesaikan secara konstruktif daripada konflik besar. Akan tetapi pada konflik yang destruktif, konflik yang sebenarnya kecil cenderung untuk membesar dan meluas. Perluasan ini dapat terjadi bila konflik antara dua individu yang berbeda dianggap sebagai konflik rasial. Selain itu bisa juga jika konflik tentang masalah biasa dipandang sebagai konflik yang bersifat substantif atau dipandang menyangkut harga diri dan kekuasaan. Robbins (1996) mengungkapkan ada beberapa teknik yang bisa dijadikan acuan dalam pemecahan konflik dan perangsangan konflik, seperti berikut.
F. RINGKASAN
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesama manusia. Ketika berinteraksi dengan sesama manusia, selalu diwarnai dua hal, yaitu konflik dan kerjasama. Dengan demikian konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia. Konflik biasanya diberi pengertian sebagai satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa berbentuk pertentangan fisik dan non-fisik, yang pada umumnya berkembang dari pertentangan non-fisik menjadi benturan fisik, yang bisa berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent), bisa juga berkadar rendah yang tidak menggunakan kekerasan (non-violent). Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala pertentangan itu bersifat langsung, yakni ditandai interaksi timbal balik di antara pihakpihak yang bertentangan. Selain itu, pertentangan itu juga dilakukan di atas dasar kesadaran pada masing-masing pihak bahwa mereka saling berbeda atau berlawanan. Konflik pada dasarnya merupakan bagian dari kehidupan sosial, karena itu tidak ada masyarakat yang steril dari realitas konflik. Konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda, merupakan bagian dari setiap sistem sosial yang dapat dimengerti. Karena konflik merupakan bagian kehidupan sosial, maka dapat dikatakan konflik sosial merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar. Empat postulat yang menunjukkan keniscayaan itu, adalah: (1) setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial terdapat di manamana;
(2) setiap masyarakat memperlihatkan konflik dan pertentangan, konflik terdapat di mana-mana;

(3) setiap unsur dalam masyarakat memeberikan kontribusi terhadap desintegrasi dan perubahan;

(4) setiap masyarakat dicirikan oleh adanya penguasaan sejumlah kecil orang terhadap sejumlah besar lainnya.


Bilamana terjadi konflik diantara temanmu atau dengan gurumu, bagaimana cara penyelesaiannya?Apakah cara penyelesaian tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan di atas?Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagaimacam sebab. Begitu sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit itu untuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Hal ini dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber konflik, demikian halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sederhana bisa menjadi sumber konflik bagi kelompok manusia. sumber konflik sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditegaskan bahwa sumber konflik dapat berasal dari dalam dan luar diri individu. Dari dalam diri individu misalnya adanya perbedaan tujuan, nilai, kebutuhan serta perasaan yang terlalu sensitif. Dari luar diri individu misalnya adanya tekanan dari lingkungan, persaingan, serta langkanya sumber daya yang ada.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik timbul dalam berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri seseorang individu, antar individu, kelompok, organisasi maupun antar negara.

Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut: (1) meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in-group) yang mengalami konflik dengan kelompok lain; (2) keretakan hubungan antar kelompokyang bertikai; (3) perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dan lain-lain; (4) kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia; dan (5) dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik. Pengelolaan konflik merupakan cara yang digunakan individu dalam mengontrol, mengarahkan, dan menyelesaikan konflik, dalam hal ini adalah konflik interpersonal. Strategi yang dipandang lebih efektif dalam pengelolaan konflik meliputi: (1) koesistensi damai, yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak saling mengganggu dan saling merugikan, dengan menetapkan peraturan yang mengacu pada perdamaian serta diterapkan secara ketat dan konsekuen; (2) dengan mediasi (perantaraan). Jika penyelesaian konflik menemui jalan buntu, masing-masing pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan secara jujur dan adil serta tidak memihak.
Sedangkan strategi yang dipandang paling efektif, antara lain: (1) tujuan sekutu besar, yaitu dengan melibatkan pihak-pihak yang berkonflik ke arah tujuan yang lebih besar dan kompleks. Misalnya dengan cara membangun sebuah kesadaran nasional yang lebih mantap; (2) tawarmenawar integratif, yaitu dengan menggiring pihak-pihak yang berkonflik, untuk lebih berkonsentrasi pada kepentingan yang luas, dan tidak hanya berkisar pada kepentingan sempit, misalnya kepentingan individu, kelompok, golongan atau suku bangsa tertentu.

0 komentar:

Posting Komentar

Official Video

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Premium Wordpress Themes